Minggu, 12 Juni 2011

ALI SASTROAMIDJOJO, BAPAK BANGSA YANG MULTI TALENTA

Ali Sastro
Ali Sastroamidjojo merupakan seorang tokoh yang mendapat banyak kesempatan untuk menapaki berbagai posisi, kesempatan yang jarang didapatkan banyak orang. Ia kelahiran 21 Mei 1903 di Grabag Marbabu, Jawa Tengah yang merupakan anak kesebelas dari 12 bersaudara. Meski lahir dan sempat menjalani kehidupan di kota kecil, ia sangat beruntung karena berasal dari keluarga yang masih tergolong priyayi. Ayahnya, R. Ng. Sastroamidjojo pernah menjadi wedana di Jetis, Temanggung sedang Ibunya bernama Kustiah. Ia sangat gigih mempertahankan adat istiadat Jawa. Hal ini dapat dilihat pada kakak dan keponakan perempuan Ali, yang memakai rok di saat sekolah Belanda, namun setelah pulang diharuskan mengganti pakaian mereka dengan pakaian Jawa agar tetap memelihara tatakrama adat istiadat Jawa. Dalam keluarga seperti itulah Ali tumbuh, yakni keluarga yang taat pada agama, adat istiadat jawa dan sangat memperhatikan pendidikan. Dari keluarga itulah yang menginspirasi hidup Ali sehingga mencapai puncak karir.


Awalnya ia mengikuti pelajaran Bahasa Belanda dari Wesrendorp untuk dapat diterima di ELS kelas nomor 2 (dua) ia hanya bertahan setahun karena tak tahan mendapat perlakuan dari anak-anak Belanda yang nakal. Kemudian Ayahnya memindahkan ke kelas nomor 1 (satu) yang pada dasarnya ditolak, karena dengan alasan Ali tidak terlalu pandai berbahasa Belanda. Ayah Ali yang pantang putus asa, berusaha menghadap asisten Residen dan menerangkan bahwa beliau masih keluarga dekat Bupati Magelang dari pihak ibu. Dengan alasan itu akhirnya Ali diterima di ELS No. 1 dengan syarat setelah tamat sekolah Ali melanjutkan pendidikan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Pemerintah kolonial hanya mendidirikan sekolah rendah untuk anak-anak Indonesia yaitu HIS (Holland Inlandse School). Sekolah berbahasa Belanda untuk tingkat pemula dan setelah lulus dapat melanjutkan ke MULO (Meruitgebreid Lager Onderwijs) sedangkan lulusan ELS disediakan HBS (Hogers Burger School), ada juga sekolah AMS (Aligcmene Middelbare School). Tahun 1918, Ali melanjutkan ke HBS dimana di sekolah ini ia mulai mengenal kebudayaan barat khususnya budaya Belanda. Selain itu Ali banyak belajar kesusastraan Prancis, Jerman, dan Inggris. Satrawan-sastrawan besar seperti: Bernard Shaw, La Maertine Balzac, Shakespeare, Willem Kloos Van Deysel membuatnya terkagum-kagum. Tahun 1922, Ali menyelesaikan pendidikanya di HBS. Setelah lulus ia bertemu dengan Titi Roelis yang kelak menjadi istrinya.




Pada perkembangan selanjutnya, Ali berhasil mendapatkan beasiswa belajar ke negeri Belanda berkat bantuan Dr. Hendriks Kraemer seorang sarjana ilmu sastra dan kebudayaan timur. Ia merupakan kenalan kakaknya dan bersedia memberikan bantuan beasiswa setelah melihat nilai-nilai Ali selama di HBS. Selama di Belanda ia tinggal di Leiden dengan tujuan masuk fakultas sastra dan filsafat, tapi ditolaknya dengan alasan bahwa ijazah HBS belum memenuhi syarat. Ia pun dianjurkan untuk belajar lagi dan memperoleh ijazah bahasa serta kesastraan Latin dan Yunani, akhirnya ia membatalkan niatnya dan memilih studi hukum. Walaupun, ia harus menyelesaikan studi di Leiden lima tahun dengan perbandingan dua kali ujian, yakni pertama kandidat di tempuh 2 (dua) tahun dan ujian kedua ujian Doktoral ditempuh 3 (tiga) tahun, dan ia pun berhasil lulus dengan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) dari universitas Leiden tahun 1927.


Semasa bersekolah, ia aktif dalam organisasi pemuda, seperti; organisasi Jong Java (1918-1922) dan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda (1923-1928). Ia mendapatkan gelar Meester in de Raechten (Sarjana Hukum) dari Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1927. Ia pernah pula berusaha mempropagandakan kemerdekaan Indonesia di Paris tahun 1926 pada kongres Internasional Demokratik Perdamaian dan di Belgia tahun 1927 dalam Liga Anti Imprealisme dan Penindasan Kolonial. Tujuanya agar masyarakat dunia mengetahui betapa menderitanya rakyat Indonesia di bawah penjajahan Belanda. Pada tanggal 23 Sepetember 1927 Ali dan sahabat-sahabat perjuangannya ditangkap oleh polisi Belanda tetapi kemudian dibebaskan pada tanggal 22 Maret 1928. Pada tahun 1928 ia kembali ke tanah air, bersama-sama dengan Mr. Soejoedi membuka kantor pengacara kemudian bersama dr. Soekiman menerbitkan majalah Djanget di Solo. Ia masuk Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Bung Karno lalu masuk Gerindo saat PNI dibubarkan oleh Mr. Sartono. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, ia masuk kembali ke organisasi PNI. Ia adalah tokoh politik, pemerintahan, dan pendidikan yang nasionalis.


Setelah Perang Dunia II usai, ia meneruskan aktivitasnya di lapangan politik dan pemerintahan, antara lain menjadi Menteri Pengajaran dalam Kabinet Amir Syarifuddin (Juli 1947) dan Kabinet Hatta (Januari 1948). Ia kemudian menjabat sebagai wakil ketua delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda (Februari 1948) dan menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar. Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, ia diangkat menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko (1950-1955). Selain itu, ia juga diangkat menjadi ketua umum Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955, wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (1957-1960), dan menjadi ketua umum PNI (1960-1966).


Selain menjadi tokoh politik, ia juga rajin mempublikasikan pikiran-pikirannya, antara lain pada Pengantar Hukum Internasional (1971), Politik Luar Negeri Indonesia Dewasa Ini (1972), otobiografi Tonggak-tonggak Perjalananku (1974), dan Empat Mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda (1975). Dari jejak langkahnya, kita dapat belajar menjadi manusia yang multi kemampuan sosial (multi skill). Hal ini karena manusia secara hakiki merupakan mahluk sosial, sejak lahir manusia selalu hidup dalam lingkungan, baik lingkungan ilmiah maupun lingkungan budaya. Menurut pandangan Ali, Keinginan belajar adalah benih kemajuan, tetapi keinginan belajar sahaja tanpa tenaga membangun umpama baling-baling tiada kemudi.


Ketika ia menjabat Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) ia membetuk Panitia Perancang Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran pada awal tahun 1948. Panitia ini bertugas menyusun Rencana Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran yang kelak menjadi pedoman bagi pemerintah dalam menyelenggarakan sekolah-sekolah. Akan tetapi rencana tersebut tidak dapat berjalan karena terjadi Agresi Militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Setelah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta pada 6 Agustus 1949, Rencana Undang-undang tersebut diajukan kembali kepada KNIP oleh menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan yang baru, Ki Sarmidi Mangunsarkoro yang menggantikannya.


Rencana undang-undang pokok akhirnya diterima oleh BP KNIP dan disahkan oleh pejabat (Acting) Presiden RI. Mr. Asaat di Yogyakarata pada tanggal 2 Januari 1950 sebagai undang-undang Nomor 4 Tahun 1950. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia (DPRS RI) kembali mengesahkan Undang-undang ini pada tanggal 27 Januari 1954 sebagai Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 dan dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia. Rencana undang-undang pokok yang disahkan menjadi undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 atau undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tersebut mempunyai nilai yang penting dan bersejarah bagi Indonesia. Undang-undang tersebut terdiri atas 17 bab dan 30 pasal. Beberapa hal penting di antaranya adalah:
  1. Bab III Pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan dan pelajaran ialah membentuk manusia sosial yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. 
  2. Bab IV Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah bahasa pengantar sekolah di seluruh Indonesia 
  3. Bab V Pasal 6 mengenai pendidikan dan pengajaran dibagi atas 4 (empat) jenjang yaitu, pendidikan dan pengajaran rendah, pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan kejuruan), pendidikan dan pengajaran tinggi. 
Siapa yang tidak kenal Ali Sastroamidjojo (1903-1975)? salah seorang bapak pendiri bangsa yang komitmen kebangsaannya diawali sejak tahun 1923, bergabung dengan PI (Perhimpunan Indonesia) di Negeri Belanda. Sebagai tokoh PNI, kiprahnya di panggung politik bangsa sangat menonjol, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) menjadi tokoh kontroversial. Karier politiknya cukup panjang dan beragam. Pernah menjadi duta besar, menteri dan dua kali jadi perdana menteri di era Demokrasi Parlementer (1950-1959). Pernah melawan Bung Karno sewaktu kabinet yang sedang disusunnya sebagai formatur ditolak, karena PKI tidak dimasukkan. Ali bertahan, akhirnya dengan perasaan dongkol Bung Karno melantik Kabinet Ali ke-2 itu pada 24 Maret 1956, menggantikan Kabinet Burhanuddin Harahap yang sebelumnya telah berjaya menyelenggarakan pemilu I pada 1955.


Kesaksian Ali Sastroamidjojo dalam otobiografinya, Tonggak-Tonggak Di Perjalananku (Jakarta: Kinta 1974, halaman 43), "Kesadaran kebangsaan saya baru sampai pada taraf kesukuan Jawa. Dari sebab itu turut mengalami saat-saat peralihan radikal di dalam perkembangan Indische Vereniging menjadi Indonesische Vereniging (Pergerakan Indonesia/PI) yang terjadi di Den Haag itu menyebabkan perubahan mental yang radikal pula di dalam jiwaku. Dengan segera sekali menipislah perasaan kesukuan Jawa di dalam hatiku. Perasaan dan kesadaran baru segera tumbuh. Saya mulai sadar bahwa saya tidak hanya termasuk golongan suku Jawa, melainkan menjadi sebagian dari pada suatu bangsa besar, ialah bangsa Indonesia! Sebagai bangsa Indonesia itu saya bukan 'inlander', 'inheemse' atau 'bumiputera' lagi, melainkan orang Indonesia yang mempunyai Tanah Air dengan nama baru: Indonesia! Segala pikiran dan perbuatan kami yang sedang belajar di berbagai universitas di Negeri Belanda ditujukan kepada mencapai realisasi daripada perasaan dan kesadaran ke-Indonesiaan itu."


Ali sangat jujur dalam pengakuan dan kesaksiaannya, kesadaran tentang keindonesian baru muncul tahun 1920-an, menggantikan perasaan kedaerahan, apakah itu Sulawesi, Sumatera, Ambon, ataupun Jawa. Bagaimana Budi Utomo (BU)? Kita menghargai dengan sangat tinggi BU sebagai gerakan kultural-intelektual, tapi bukan untuk menciptakan sebuah bangsa yang selanjutnya bernama Indonesia. Berkat perjuangan PI-lah, kemudian dikukuhkan oleh Sumpah Pemuda tahun 1928, bekas jajahan Belanda ini tampil sebagai sebuah bangsa baru di sekitar Khatulistiwa dengan gugusan kepulauan yang cantik dan elok sebagaimana Ali dengan perasaan dalam telah menggambarkannya. BU sama sekali tidak berpikir tentang Indonesia. Antara tahun 1908-1931 BU masih menutup diri untuk dimasuki oleh suku non-Jawa, sebuah "organisai yang eksklusif", tulis sejarawan Ahmad Mansur Suryanegra dalam bukunya, Menemukan Sejarah (1995, hal 201).


Bila kita mencoba berlaku jujur dan adil terhadap masa lampau Indonesia maka penetapan permulaan Hari Kebangkitan Nasional adalah saat terbentuknya Pergerakan Indonesia yang semula bernama Indische Vereniging menjadi Indonesische Vereniging kemudian kukuh dalam bahasa Indonesia sebagai Perhimpunan Indonesia. Kapan perubahan ini terjadi, Ali menyebutnya tahun 1923 sementara Hatta dalam Memoir-nya menulis tahun 1922 (2002, hal 73). Namun dapat pula tonggak kebangkitan nasional dimulai sejak Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, sebagai awal Kebangkitan Nasional. Bangunan sejarah bangsa haruslah ditegakkan di atas fondasi yang kokoh dan benar. Fondasi yang ringkih akan selalu oleng, atau mengutip kalimat seorang penyair: "Sebuah sarang di atas dahan yang rapuh takkan tahan lama." Kita ingin Indonesia ini bertahan sampai rapuhnya dunia ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar