Minggu, 19 Juni 2011

Mohammad Hatta, Proklamator dan Guru Bangsa

LATAR BELAKANG
Mohammad Hatta
Mohammad Hatta lahir 12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota inilah Bung Hatta dibesarkan. Ia lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Ayahnya Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan, ia anak laki-laki satu-satunya. Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar.

Pendidikan dasarnya di Sekolah Melayu di Bukittinggi pada tahun 1913-1916 kemudian melanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS) dan MULO di Padang. Tahun 1919 ia ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang “Prins Hendrik School”. Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia tertarik pada pergerakan dimana ia masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond kemudian diangkat sebagai bendahara ketika ia di Batavia. Sebagai bendahara, ia menyadari arti penting keuangan bagi perkumpulan. Menurutnya, sumber keuangan akan lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab dan disiplin.

Selama di Batavia, ia mulai aktif menulis. Berbagai karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera. Terdapat sebuah tulisannya yang menarik berjudul “Namaku Hindania!”mengisahkan perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia yang kemudian meminangnya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku.

Minggu, 12 Juni 2011

ALI SASTROAMIDJOJO, BAPAK BANGSA YANG MULTI TALENTA

Ali Sastro
Ali Sastroamidjojo merupakan seorang tokoh yang mendapat banyak kesempatan untuk menapaki berbagai posisi, kesempatan yang jarang didapatkan banyak orang. Ia kelahiran 21 Mei 1903 di Grabag Marbabu, Jawa Tengah yang merupakan anak kesebelas dari 12 bersaudara. Meski lahir dan sempat menjalani kehidupan di kota kecil, ia sangat beruntung karena berasal dari keluarga yang masih tergolong priyayi. Ayahnya, R. Ng. Sastroamidjojo pernah menjadi wedana di Jetis, Temanggung sedang Ibunya bernama Kustiah. Ia sangat gigih mempertahankan adat istiadat Jawa. Hal ini dapat dilihat pada kakak dan keponakan perempuan Ali, yang memakai rok di saat sekolah Belanda, namun setelah pulang diharuskan mengganti pakaian mereka dengan pakaian Jawa agar tetap memelihara tatakrama adat istiadat Jawa. Dalam keluarga seperti itulah Ali tumbuh, yakni keluarga yang taat pada agama, adat istiadat jawa dan sangat memperhatikan pendidikan. Dari keluarga itulah yang menginspirasi hidup Ali sehingga mencapai puncak karir.


Awalnya ia mengikuti pelajaran Bahasa Belanda dari Wesrendorp untuk dapat diterima di ELS kelas nomor 2 (dua) ia hanya bertahan setahun karena tak tahan mendapat perlakuan dari anak-anak Belanda yang nakal. Kemudian Ayahnya memindahkan ke kelas nomor 1 (satu) yang pada dasarnya ditolak, karena dengan alasan Ali tidak terlalu pandai berbahasa Belanda. Ayah Ali yang pantang putus asa, berusaha menghadap asisten Residen dan menerangkan bahwa beliau masih keluarga dekat Bupati Magelang dari pihak ibu. Dengan alasan itu akhirnya Ali diterima di ELS No. 1 dengan syarat setelah tamat sekolah Ali melanjutkan pendidikan ke sekolah kedokteran di Jakarta. Pemerintah kolonial hanya mendidirikan sekolah rendah untuk anak-anak Indonesia yaitu HIS (Holland Inlandse School). Sekolah berbahasa Belanda untuk tingkat pemula dan setelah lulus dapat melanjutkan ke MULO (Meruitgebreid Lager Onderwijs) sedangkan lulusan ELS disediakan HBS (Hogers Burger School), ada juga sekolah AMS (Aligcmene Middelbare School). Tahun 1918, Ali melanjutkan ke HBS dimana di sekolah ini ia mulai mengenal kebudayaan barat khususnya budaya Belanda. Selain itu Ali banyak belajar kesusastraan Prancis, Jerman, dan Inggris. Satrawan-sastrawan besar seperti: Bernard Shaw, La Maertine Balzac, Shakespeare, Willem Kloos Van Deysel membuatnya terkagum-kagum. Tahun 1922, Ali menyelesaikan pendidikanya di HBS. Setelah lulus ia bertemu dengan Titi Roelis yang kelak menjadi istrinya.


PERANG 10 NOVEMBER 1945 DAN PERAN RESOLUSI JIHAD

Latar Belakang
Bung Tomo
Peristiwa 10 November 1945 merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi berdirinya bangsa Indonesia. Momentum tersebut dapat dilihat bagaimana semangat nasionalisme mendapatkan makna yang cukup mendalam dalam paradigma agama, nasionalisme Indonesia bukanlah dipahami sebagai faham dan ideologi yang berada di luar wilayah agama (Islam) namun menjadi sebuah bagian dari kewajiban beragama yang harus diperjuangkan. Kerangka pemikiran tersebut merupakan dasar bagi seluruh umat beragama terutama Islam dalam menjaga Pancasila dan UUD ’45.
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 merupakan tantangan Sekutu yang saat itu berkuasa setelah Jepang menyerah, datang dengan diboncengi Belanda dengan tujuan mengambil alih kekuasaan Indonesia yang dianggap wilayah jajahan Jepang yang secara otomatis dikuasai oleh Sekutu sebagai pemenang perang. Pasukan sekutu mendarat di Jakarta pada September 1945 dibawah pimpinan Let.Jend Sir Philip Christison dengan kekuatan 3 divisi: Divisi May.Jend Hawthorn menguasai Jawa Barat, Divisi May.Jend Mansergh menguasai Jawa Timur dan Divisi May.Jend -Chambers menguasai Sumatera, Adapun Brig. Jend A.W.S.Mallaby yang mendarat di Surabaya merupakan bagian pimpinan Mayjen D.C Hawthorn. Ketiga divisi itu bertugas mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Jepang. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby.


Rabu, 25 Mei 2011

KI HAJAR DEWANTARA, PELETAK DASAR PENDIDIKAN

Latar Belakangnya



Suwardi lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889, berasal dari keluarga keraton, tepatnya Pura Pakualaman, Yogyakarta. Ia cucu dari Sri Paku Alam III, ayahnya K.P.H. Suryaningrat dan Ibunya Raden Ayu Sandiyah merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Selama masa kecilnya ia mendapat pendidikan agama dari K.H. Abdurrahman, kyai Pesantren Kalasan sedangkan pendidikan formalnya di Europeesche Lagere School (ELS) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Kemudian, ia melanjutkan ke Kweekschool (sekolah guru Belanda) dan pindah ke School Tot Opleding Voor Inlandsche Arsten (Stovia) di Jakarta dengan mendapat beasiswa.

Sekolahnya tidak selesai karena sakit hingga beasiswanya dicabut. Di samping itu, alasan pencabutan beasiswa itu karena ia membacakan sebuah sajak kepahlawanan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo (panglima perang Pangeran Diponegoro). Ia dituduh membangkitkan semangat memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar waktu itu, antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Selain itu ia juga menerbitkan Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak.


Rabu, 18 Mei 2011

PERJUANGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL SUTAN SJAHRIR

Latar Belakang


Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam. Ayahnya penasehat Sultan Deli dan Kepala Jaksa (landraad) di Medan, status ayahnya mendorongnya bersekolah di sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) kemudian sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Disana aktif di berbagai kegiatan sosial seperti mendirikan sekolah Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat bagi anak-anak dari keluarga tak mampu.
Aktifitasnya kemudian mengarah politik, Sjahrir termasuk sepuluh orang penggagas pendirian Himpunan Pemuda Nasionalis, Jong Indonesi (20 Februari 1927) ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan kedaerahan. Perhimpunan itu menjadi Pemuda Indonesia yang menggerakkan Kongres Pemuda dan mencetuskan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 di Jakarta. Saat itu, usianya masih muda (19 tahun) dibanding pemuda lainnya seperti Muh. Yamin (Jong Sumatera), Soegondo Djojopoespito (Jong Java) atau Mr Sunario (utusan Kepanduan). Sjahrir mewakili Jong Indonesie (Pemuda Indonesia) diakui sangat cerdas dan ikut memperjuangkan berdirinya negara Indonesia. Disitu, ia bertemu dengan Amir Sjarifoeddin (Jong Batak) untuk pertama kalinya.
Bersama kawan sekolahnya, ia mendirikan perkumpulan sandiwara Batovis. Setiap bulan melakukan pementasan berbahasa Belanda di gedung Concordia, disaksikan orang Belanda. Di dalam ceritanya sering disisipkan ide kebangsaan dan kritik terhadap pemerintahan kolonial. Sjahrir pada dasarnya tidak membenci orang Belanda namun menentang kolonialisme. Bersama kawan-kawanya mendirikan pula kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang diskusi dan debat politik kalangan pemuda dan pelajar mengenai ide kebangsaan, disini ia mengasah kemampuan berdebatnya.


Senin, 09 Mei 2011

PERJUANGAN PEMIKIRAN MUHAMMAD NATSIR

Latar Belakang
M. Natsir
Muhammad Natsir merupakah tokoh Islam yang turut serta dalam pembentukan negara Indonesia, dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada 17 Juli 1908. Orangtuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado merupakan pegawai pemerintah dan pernah menjadi asisten Demang di Bonjol. Natsir, anak ketiga dari empat bersaudara, diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Mulanya bersekolah di SD pemerintah Maninjau, kemudian HIS pemerintah di Solok, HIS Adabiyah di Padang, ia kemudian mendapat beasiswa di Mulo Padang, seterusnya AMS (SMA jurusan Sastra Barat) di Bandung. Walaupun mendapatkan beasiswa di Rotterdam, ia tidak mengambilnya karena lebih tertarik pada perjuangan Islam.


Selama di Bandung ia berinteraksi dengan aktivis pergerakan nasional seperti Syafruddin Prawiranegara, Moh. Roem dan Sjahrir. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Kepribadian A. Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam argumentasinya serta berani mengemukakan pendapat tampaknya cukup berpenrgaruh pada kepribadian Natsir kemudian hari. Natsir memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar, ia mendalami teologi (tauhid), Fiqih (Syari’ah), Tafsir dan Hadis bahkan filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Selain itu, ia belajar dari Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M Sangaji, tokoh-tokoh Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Semua pengalaman ini memperkokoh keyakinannya untuk berjuang menegakkan Islam.


Pengalaman organisasinya dimulai di Jong Islamieten Bond (JIB), Padang. Di Bandung ia menjadi wakil ketua JIB pada tahun 1929-1932, menjadi ketua Partai Islam Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun empat puluhan menjadi anggota Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) cikal bakal dari partai Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang kemudian ia pimpin. Berkat keunggulan spiritualnya, ia banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan dan pendidikan.

PERJUANGAN DAN PENGABDIAN KASIMO

Pembentukan Karakter

I.J Kasimo
I.J kasimo memiliki nama lengkap Mr. Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (1900-1986). Kelahiran Yogyakarta, 10 April 1900. Ia berasal dari keluarga keraton Jeronbeteng (termasuk komunitas kasultanan). Ayahnya Ronosentiko, prajurit kraton Mantrijeron sedangkan ibunya Dalikem. Kedudukan keluarganya tidak tergolong susah, memungkinkannya untuk bersekolah di Tweede Inlandsche School (Sekolah bumiputra Ongko Loro), biasa dikenal Sekolah Setalenen. Sekolah merupakan hal menarik baginya, ia memiliki banyak teman dan mampu menyesuaikan dengan pergaulan sekolah serta menumbuhkan sikap egalitarian-nya kendati ayahnya orang terpandang.

Setelah lulus, ia menanggapi tawaran Van Lith untuk melanjukan sekolahnya ke Kweekschool, Muntilan. Sekolah yang didirikan Van Lith ini bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada orang-orang Jawa agar mendapatkan kedudukan yang baik dalam masyarakat serta menjadi media untuk keluar dari tekanan dan penindasan. Selain itu, sekolah merupakan media penanaman nilai Caritas atau cinta kasih yang tidak sekedar dipahami sebagai sikap manis saja namun terwujud dalam sikap berani berpihak pada mereka yang tertindas dan membela keadilan. Pada akhirnya, pendidikan merupakan pendorong untuk terjadinya perubahan sosial.

Awalnya, ia tidak ingin menjadi seorang guru sehingga memilih bersekolah di Middelbare Landbouw School (Sekolah Pertanian Menengah, disingkat MLS), Bogor tahun 1918. Di sekolah ini terdapat 2 jurusan, yaitu Pertanian dan Kedokteran Hewan, ia memilih pertanian. Sebagai siswa ikatan dinas, ia menerima beasiswa dari pemerintah kolonial. Selama pendidikannya di Bogor, Kasimo banyak berinteraksi dengan banyak orang yang berasal dari berbagai daerah kemudian bergabung dengan Tri Koro Darmo dan berganti menjadi Jong Java. Ia pernah menjadi ketua perkumpulan siswa MLS, Ceres. Suatu ketika ia pernah membaca Katholieke Maatschappijleer (ajaran sosial katolik) karangan Imam Karmelit yang menyatakan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk mencapai kemerdekaan dan persatuan”, buku ini hadiah Romo Von Rijkevorsel serta memberi inspirasi besar bagi Kasimo.

Jumat, 06 Mei 2011

MASA DEPAN ISLAM DAN NASIONALISME

Ideologi Nasionalisme dan Islam masih akan terus mewarnai kehidupan berbangsa. Mengapa ada klasifikasi semacam itu? Apakah golongan Islam bukan juga nasionalis, atau kurang memiliki rasa kebangsaan dibandingkan kalangan yang mengklaim sebagai nasionalis, sementara pertanyaan sama bagi kaum nasionalis itu yang sebagian besarnya muslim. Sudah saatnya bagi seluruh elemen kebangsaan untuk menggali kembali makna Nasionalisme yang kian hari kian dipertanyakan artinya. Hal ini bukan semata akibat krisis yang belum juga reda melanda negeri kita melainkan jauh lebih dari itu, yaitu derasnya gelombang globalisasi yang menyatukan setiap belahan negara di dunia, implikasinya adalah setiap orang di berbagai negara akan terhubung. Bila “semua orang” kini telah menjadi “warga dunia”, lalu bagaimanakah bentuk nasionalisme kita di masa depan.? Sementara belakangan sosok Islam lebih dianggap sebagai pengusung Internasionalisme ketimbang Nasionalisme. Tulisan berikut ini, disajikan kembali dari artikel yang diterbitkan oleh Majalah “Panji Masyarakat” bulan Agustus 2003 edisi ke 15.


Meskipun bentuk Nasionalisme Indonesia telah mengalami transformasi dan tidak lagi sekadar diinterpretasikan sebagai implementasi dari faham ke-Islaman namun pengaruh gagasan-gagasan Islam tetap saja tampak. Dalam masa transisi menuju suatu masyarakat yang demokratis, kiranya perlu dilakukan refleksi kritis terhadap dua wacana utama yang telah menjadi panduan bangsa Indonesia dalam mengarungi 58 tahun usia kemerdekaannya. Dua wacana utama tersebut adalah Islam dan Nasionalisme. Munculnya wacana ini merupakan bagian dari rangkaian pencerahan bangsa yang tercapai melalui proses pendidikan dan pendewasaan politik dari pengalaman Kolonialisme di awal abad ke 20. Wacana Islam dan Nasionalisme memiliki andil yang sama besarnya dalam membentuk kesadaran kita untuk hidup sebagai satu bangsa. Kedua wacana ini bukan hanya berjalan seiring namun juga berinteraksi dan berdialog dalam rangka membangun kultur demokrasi di Indonesia.


Sebagai wacana, Kebangsaan (Nasionalisme) merupakan konsep gagasan tentang cara hidup bersama dalam satu entitas yang disebut bangsa (Nation). Kesadaran Kebangsaan pertama kali terartikulasi secara jelas dalam Revolusi Perancis dengan mengemukakan semboyan liberte, egalite dan fraternete. Dari ketiga slogan tersebut terembus kuat semangat kebersamaan dan kesetaraan yang juga merupakan salah satu landasan utama dari demokrasi. Meruapnya kesadaran kebangsaan di Benua Asia dan Afrika adalah bagian dari reaksi terhadap penetrasi kolonialisme negara-negara Eropa yang makin dalam. Karena itu, di Indonesia Kebangsaan pertama-tama menampilkan diri sebagai suatu gerakan kemerdekaan menentang dominasi kolonial dan baru muncul kemudian sebagai sebuah gerakan demokrasi.


Rabu, 04 Mei 2011

GENEALOGI DAN PERJUANGAN TAN MALAKA

Pembentukan karakter

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim merupakan salah satu Pejuang Bangsa kelahiran tahun 1896 di Sumatera Barat, wilayah yang banyak menghasilkan pemikir-pemikir brilian yang turut serta dalam sejarah berdirinya bangsa, misalnya Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Sjafruddin Prawiranegara, dll. Ayahnya berasal dari Bonjol dimana leluhurnya terlibat dalam Perang Bonjol melawan Belanda, ibunya berasal dari bukit tinggi. Ia lahir di sebuah surau, masa kecilnya mengilhami bahwa Islam sebagai agama yang mencerahkan dan membebaskan. Berbagai kondisi tersebut membentuk karakter Tan Malaka.
Sebagai anak tertua ia memperoleh gelar datuk, namun ia terpaksa menerimanya karena konsekuensi penolakannya ia harus segera dinikahkan saat usianya yang masih muda. Tan Malaka menempuh sekolah dasar kelas dua terbatas untuk anak-anak rakyat jelata namun berkat kecerdasannya mendorongnya melanjutkan pendidikan ke sekolah guru bumi putera Fort de kock (sebutan untuk sekolah Raja). Tak berhenti disitu, ia pun sampai di negeri Belanda di Sekolah guru Harleem (1913) berkat bantuan gurunya yang juga ayah angkatnya, Horensma. Keberangkatannya  mendapat bantuan dari iuran keluarga dan masyarakat ditempatnya yang melihat potensi besarnya. Tahun 1916 ia pindah ke Busum, tak jauh dari Amsterdam, disini naluri kritisnya muncul. Ia mulai sadar terdapat kesenjangan dalam masyarakat, kaum borjuis yang bergaya mewah dan kaum proletar yang tertindas.
Pemahaman politiknya semakin matang karena lingkungan yang cukup mendukung, setelah kepindahannya ke Busum meletus Revolusi Bolshevik di Rusia (Oktober 1917) yang menginspirasinya bahwa dunia sedang beralih menuju sosialisme. Ia juga aktif di Indisce Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), organisasi yang bercorak Marxis. Kebiasaannya membaca surat kabar De Telegraaf dan Het Volk koran penyeru anti kapitalisme dan anti imperialisme, sering pula ia membaca buku karya para filsuf dan pemikir populer pada zaman itu terutama The French Revolution karya Thomas Carlyle, melalui buku ini ia mengenal semboyan liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan). Di tengah gejolak politik dunia saat Perang Dunia I, menebarkannya semangat revolusioner dan ideologi.