Rabu, 25 Mei 2011

KI HAJAR DEWANTARA, PELETAK DASAR PENDIDIKAN

Latar Belakangnya



Suwardi lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889, berasal dari keluarga keraton, tepatnya Pura Pakualaman, Yogyakarta. Ia cucu dari Sri Paku Alam III, ayahnya K.P.H. Suryaningrat dan Ibunya Raden Ayu Sandiyah merupakan keturunan Sunan Kalijaga. Selama masa kecilnya ia mendapat pendidikan agama dari K.H. Abdurrahman, kyai Pesantren Kalasan sedangkan pendidikan formalnya di Europeesche Lagere School (ELS) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya. Kemudian, ia melanjutkan ke Kweekschool (sekolah guru Belanda) dan pindah ke School Tot Opleding Voor Inlandsche Arsten (Stovia) di Jakarta dengan mendapat beasiswa.

Sekolahnya tidak selesai karena sakit hingga beasiswanya dicabut. Di samping itu, alasan pencabutan beasiswa itu karena ia membacakan sebuah sajak kepahlawanan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo (panglima perang Pangeran Diponegoro). Ia dituduh membangkitkan semangat memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar waktu itu, antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Selain itu ia juga menerbitkan Goentoer Bergerak dan Hindia Bergerak.



 Ia aktif pula di Budi Utomo (1908), tugasnya di biro propaganda. Di situlah ia mencoba untuk mengobarkan semangat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesatuan dan persatuan Indonesia. Pada 25 Desember 1912, ia mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama beraliran nasionalis bersama dr. Douwes Dekker (Danudirja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangunkusumo, dengan tujuan tegas yaitu Indonesia merdeka. Akibatnya, Indische Partij ditolak menjadi badan hukum oleh pemerintah Belanda, alasannya organisasi ini dapat membangkitkan nasionalisme rakyat untuk menentang Belanda.


Ia mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis pada November 1913. Ia mendirikan Komite Bumiputera sebagai tandingan dari komite perayaan seratus tahun kemerdekaan bangsa Belanda dari Perancis, mengkritik perayaan yang akan dirayakan besar-besaran dengan menarik uang dari rakyat jajahannya. Kritikan tersebut dimuat di surat kabar milik Douwes Dekker berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” (Als ik Eens Nederlander Was). Hal itu membuat pemerintah kolonial berang kemudian meminta bantuan Sri Paku Alam II dan K.P.H. Suryaningrat untuk membujuk Suwardi agar tidak radikal. Namun, mereka berdua justru berpesan “Ingatlah, seorang bangsawan tidak akan menelan ludahnya sendiri.”

Gubernur Jenderal Idenburg menjatuhkannya hukuman tanpa proses pengadilan yaitu pembuangan ke Pulau Bangka. Kedua sahabatnya, dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo turut dibuang karena membela Ki Hadjar. Dalam hukuman tersebut mereka menginginkan untuk dibuang ke Negeri Belanda karena dianggap bermanfaat untuk mempelajari banyak hal ketimbang dibuang ke daerah terpencil. Permintaan tersebut dikabulkan, Agustus 1913 mereka di buang ke Belanda. Hal itu tidak disia-siakan oleh mereka, terutama Ki Hadjar untuk memperdalam pendidikan dan pengajaran hingga mendapatkan Europeesche Akte. Di Belanda, ia bekerja sebagai jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel School).

Tahun 1919, ia kembali ke Indonesia kemudian mencurahkan perhatiannya di dunia pendidikan sebagai alat perjuangan untuk meraih Indonesia Merdeka. Ia mendirikan perguruan Nationaal Onderwijjs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Corak pendidikannya merupakan paduan dari pendidikan gaya Eropa yang ia pelajari selama di Belanda dengan seni-budaya Jawa tradisional yang merupakan latar belakangnya. Saat usianya genap 40 tahun menurut perhitungan tahun Caka, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara agar dapat lebih dekat dengan rakyat dan menjadi bagian dari mereka (23 Februari 1928).

Perkembangan Taman Siswa begitu pesat dan mendapat apresiasi dari rakyat banyak, membuat gelisah pemerintah kolonial. Kemudian diterbitkan ordonansi sekolah liar (Wilde Schoolen Ordonantie) yang melarang sekolah swasta (partikelir) beroperasi tanpa izin dari pemerintah. Sekolah-sekolah swasta pun harus menggunakan kurikulum dari pemerintah, gurunya harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Ki Hadjar tidak tinggal diam, ia melakukan perlawanan dengan tetap menjalankan Taman Siswa seperti biasa. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar harus diganti oleh pamong lain. Semboyan “ditangkap satu tumbuh seribu” muncul. Ia mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda di Bogor, isinya akan melawan ordonansi tersebut sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara diam (mirip gerakan Ahimsa di India). Akhirnya pada 1934 ordonansi tersebut dicabut karena dukungan dari gerakan politik nasional, termasuk Budi Utomo.

Pemikiran dan Karyanya
Awalnya Taman Siswa adalah forum diskusi “Sarasehan Malem Selasa Kliwonan” yang diselenggarakan Ki Hadjar dan kawan-kawan. Dari forum itu muncul gagasan-gagasan pendidikan. Ia kemudian ditunjuk untuk menangani pendidikan anak dan kaum muda, sedangkan kaum dewasa ditangani oleh Ki Ageng Suryomentaram. Kemudian, Taman Siswa di Yogyakarta memiliki banyak bagian-bagian khusus, seperti Taman Indriya (Taman Kanak-Kanak), Taman Muda (sekolah dasar), Taman Dewasa (sekolah menengah pertama), Taman Madya (sekolah menengah atas), Taman Karya Madya (sekolah menengah kejuruan), Taman Guru (sekolah pendidikan guru) dan Sarjanawiyata (perguruan tinggi).

Dalam konteks perjuangan nasional, Taman Siswa didirikan untuk kepentingan rakyat sebagai bagian dari gerakan sosial dan politik untuk mencapai kemerdekaan, terlihat dari hubungannya dengan Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan lainnya. Taman Siswa tidak ditujukan untuk satu golongan saja, dibuktikan dengan berdirinya Taman Siswa di Sumatera dan Borneo yang mengakomodasi nilai dan kultur lokal dalam pembelajarannya. Nasionalisme Taman Siswa dalam pelajarannya dapat dilihat dari bahasa yang digunakan. Menurutnya : “Anak yang sejak kecil selalu dibiasakan pada bahasa asing dan dijauhkan dari bahasanya sendiri, ia akan kehilangan perhubungan batin dengan orang-orang tuanya sendiri, dan kelak di kemudian hari ia juga akan terasing perasaannya terhadap bangsanya sendiri”

Taman Siswa tidak sependapat dengan model pendidikan Barat yang didasarkan pada perintah (regering), hukuman (tucht) dan ketertiban (orde). Pola pendidikan demikian mendatangkan tekanan batin dan intelektual siswa sehingga budi pekerti, emosi dan nalarnya tidak akan berkembang dengan baik. Ketika pola tersebut diteruskan, akan menghasilkan orang-orang yang tidak akan bekerja bila tidak diperintah dan tidak memiliki kepribadian/ karakter. Pendidikan yang digagasnya adalah pendidikan yang nir-paksaan sebagai tuntunan hidup dan tumbuh kembangnya anak-anak, artinya kehidupan anak-anak berada di luar kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat sebagai manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, biarkanlah mereka tumbuh dan berkembang sesuai fitrah kehidupannya sendiri.

Dalam Taman Siswa dikenal sistem Among sebagai dasar pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru diperbolehkan mengintervensi si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam sistem Among inilah terkenal metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan harus dapat memberi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat memberi gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani (ketika di belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan). Konsep dan praksis pendidikan Taman Siswa adalah pendidikan yang terlibat dalam masyarakat dan tidak menjadikannya sebagai entitas terpisah. Konteks sosio-kultural dan politik menjadi perhatian utama dalam praksis pendidikan. “...anak-anak Taman Siswa kita dekatkan hidupnya kepada perikehidupan rakyat, agar supaya mereka tidak hanya memiliki ‘pengetahuan’ saja tentang hidup rakyatnya, akan tetapi juga dapat ‘mengalaminya’ sendiri, dan kemudian tidak hidup berpisahan dengan rakyatnya”

Jika dilihat dari gagasan pendidikan kritis kontemporer, Taman Siswa yang dimaksud Ki Hadjar Dewantara tersebut tidak sekadar menjadi pusat pendidikan saja, melainkan juga sebagai pusat kebudayaan masyarakat sekitarnya dan pusat gerakan sosial-masyarakat. Untuk mendukung terciptanya siswa yang berkepribadian dan dekat dengan rakyat itulah Taman Siswa menggunakan sistem pondok atau asrama. Dalam asrama tersebut anak-anak harus dapat belajar menolong diri sendiri dan hidup bersahaja. Ia berupaya untuk mengkontekstualisasikan gagasan pendidikan yang ia peroleh ketika di Belanda dengan nilai-nilai budaya Indonesia.

Ki Hajar sangat terpengaruh oleh Frobel ketika menjadi jurnalis guru Taman Kanak-Kanak (Frobel School) ketika di Belanda. Ia juga mempelajari Montessori, yang pernah berkunjung ke Yogyakarta pada tahun 1940. Ia pun mengagumi gagasan pendidikan Rabindranath Tagore (pendidik India yang terkenal dengan sistem asrama Shanti Niketan) yang pernah pula berkunjung ke Taman Siswa tahun 1927. Baik Montessori dan Tagore menganggap model pendidikan Barat sangat memuja intelektualisme hingga mematikan perasaan dan menjadikan manusia ibarat “mesin” belaka. Berangkat dari gagasan itu ia membangun dasar filosofis dan praksis pendidikan Taman Siswa berupa nilai kebangsaan, nasionalisme, perjuangan mencapai kemerdekaan dan nilai-nilai tradisional Jawa. Hal ini terlihat dari istilah, semboyan dan prinsip yang menggunakan idiom-idiom Jawa.

Gagasan-gagasan besarnya tentang pendidikan ia tuangkan dalam berbagai tulisan. Sejak muda ketika bergabung dalam suratkabar di Jakarta ia banyak menulis tentang pendidikan, kebudayaan dan politik. Sebagian besar gagasannya disampaikan dalam majalah Wasita yang didirikan Taman Siswa, majalah untuk pendidik dan orangtua yang bergelut dalam bidang pendidikan. Majalah tersebut menggunakan bahasa Melayu dan Jawa serta menjadi media pergerakan kaum nasionalis.

Pribadi yang Merakyat
Sejak kecil Ki Hadjar sudah dekat dengan rakyat sekitarnya, ia terbiasa untuk mengajak anak-anak kecil seusianya masuk ke Pura Pakualaman, misalnya untuk menonton wayang kulit dan pertunjukan seni. Ia juga sering berkelahi dengan sinyo-sinyo Belanda yang menghina anak-anak pribumi. Ketika hendak diangkat menjadi Sri Paku Alam III ia memilih untuk mengundurkan diri. Ia menjawab, “Saya berkeberatan untuk menerima mahkota dan singgasana kerajaan. Bagi saya tidaklah penting siapa yang duduk di atas singgasana dan menjadi raja, sebab kunci pelepas kesengsaraan kaum pribumi yaitu seluruh bangsa kita tidak terletak pada soal siapa yang menjadi raja, namun jawaban atas satu pertanyaan, siapakah yang mau berjuang membebaskan bangsa kita dari penjajahan Belanda”

Ia dikenal sebagai orang yang keras dan tegas, namun tidak kasar. Ia termasuk pemberani tidak sekadar dalam tulisan-tulisannya yang memerahkan telinga pemerintah Hindia Belanda saja. Ketika peristiwa Ikada pada 19 September 1945 yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi pemerintah Republik Indonesia (RI) pada dunia, pemerintah dihadapkan pada tantangan menembus pasukan Jepang yang berada di sekeliling lapangan. Soekarno-Hatta akhirnya bersepakat untuk hadir, tapi siapa menteri yang berani membuka jalan untuk masuk lapangan Ikada yang sudah sesak dipenuhi rakyat dan tentara Jepang? Di situlah Ki Hadjar Dewantara bersama Mr. Achmad Subardjo (Menteri Luar Negeri) dan Mr. Iwa Kusuma Sumantri (Menteri Sosial) menyediakan diri mereka sebagai pembuka jalan dan tameng. Padahal waktu itu Ki Hadjar sudah tidak muda lagi.

Secara resmi dunia akademik pun memberikan penghormatan kepada Ki Hadjar dengan memberikan gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1957. Dua tahun berselang, pada 26 April 1959 ia meninggal dunia. Sebelum wafat ia berkata pada anaknya, Bambang Sukowati: “…apapun yang dikatakan orang tentang diriku (kau) wajib menerimanya. Namun, kalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki Hadjar seorang nasionalis, radikalis, sosialis, humanis, tradisionalis ataupun demokrat? Maka katakanlah, aku hanya orang Indonesia biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia.”

Setelah ia wafat, kepemimpinan Taman Siswa diampu istrinya, Nyi Hadjar Dewantara. Pada masa itu terdapat upaya dari gerakan komunis untuk menyusup dalam tubuh Taman Siswa, salah satunya ditunjukkan oleh hasil kongres Taman Siswa tahun 1963 yang didominasi oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan sampai menjadikan Semaun (tokoh komunis saat itu) sebagai Badan Pembina Persatuan Taman Siswa. Melihat hal tersebut Nyi Hadjar menggunakan hak prerogatifnya dengan membubarkan kepengurusan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dan menggantinya dengan orang-orang yang non-komunis.

Namun sayang, pasca Nyi Hadjar hingga sekarang Perguruan Taman Siswa justru tidak secemerlang dulu. Sekolah-sekolah Taman Siswa bahkan menjadi pilihan terakhir bagi anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri dan swasta lainnya. Dilihat dari sisi ketokohan agaknya juga tidak ada lagi tokoh dari Taman Siswa yang mampu mencapai level seperti Ki Hadjar Dewantara. Beberapa tokoh intelektual memang muncul seperti Ki Supriyoko, Ki Darmaningtyas dan lainnya namun belum dapat membawa Taman Siswa sesuai dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara pada awalnya. Saat ini praktik pendidikan di Taman Siswa tidak banyak berbeda dengan sekolah swasta lainnya. Sistem pendidikan asrama perlahan-lahan luntur, demikian juga dengan konsep Taman Siswa sebagai pusat kebudayaan dan gerakan sosial.

Titik awal kemunduran Taman Siswa terjadi sejak 1965, banyak pamong yang kritis ditangkap termasuk yang berada di cabang-cabang Taman Siswa. Sementara itu, penggantinya lebih banyak diam dan tidak berani kritis untuk menjaga keselamatan perguruan. Sikap tidak kritis tersebut menjadikan Taman Siswa tidak lagi diperhitungkan dalam konteks politik dan pendidikan nasional. Disamping itu, Kebijakan Orde Baru yang mendirikan Sekolah Dasar (SD) Inpres secara masal menjadikan Taman Siswa sepi peminatnya. Ketika menjabat sebagai Menteri PP dan K yang pertama Ki Hadjar hampir selalu pulang larut malam dan menceritakan segala aktivitasnya pada anak dan istrinya di meja makan sambil makan malam. Seringkali karena persediaan lauk pauk habis, Nyi Hadjar menyuruh salah satu anaknya membeli mi godok di pinggir jalan, dan jadilah makan malam seorang menteri terhormat tersebut dengan mi godok serantang untuk seluruh keluarga. Dalam hal yang sesederhana itu Ki Hadjar sebenarnya juga dalam rangka menerapkan gagasan pendidikannya dalam lingkungan keluarga yang harus dibangun dari komunikasi yang hangat. Dalam konteks sekarang, adakah di antara pejabat negara dan menteri—terutama menteri pendidikan—yang meneladani kehidupan dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara?



(Dituliskan kembali dari Edi Subkhan)

1 komentar:

  1. saya selalu suka dengan Ki Hajar Dewantara, menurut saya dia merupakan sosok yang hebat

    BalasHapus