![]() |
M. Natsir |
Selama di Bandung ia berinteraksi dengan aktivis pergerakan nasional seperti Syafruddin Prawiranegara, Moh. Roem dan Sjahrir. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Kepribadian A. Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam argumentasinya serta berani mengemukakan pendapat tampaknya cukup berpenrgaruh pada kepribadian Natsir kemudian hari. Natsir memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar, ia mendalami teologi (tauhid), Fiqih (Syari’ah), Tafsir dan Hadis bahkan filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Selain itu, ia belajar dari Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M Sangaji, tokoh-tokoh Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Semua pengalaman ini memperkokoh keyakinannya untuk berjuang menegakkan Islam.
Pengalaman organisasinya dimulai di Jong Islamieten Bond (JIB), Padang. Di Bandung ia menjadi wakil ketua JIB pada tahun 1929-1932, menjadi ketua Partai Islam Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun empat puluhan menjadi anggota Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) cikal bakal dari partai Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang kemudian ia pimpin. Berkat keunggulan spiritualnya, ia banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan dan pendidikan.
Buah Pemikirannya
![]() |
Dakwah Natsir |
Pemikiran Natsir dipengaruhi oleh Jamaludin Al Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Ali Abdul Razik, Al Mawardi, Ibn Taimiyah, Al Maududi, Hasan Albana dan Al Farabi. Pandangannya mengenai Islam dan Kebangsaan bagaikan sekeping mata uang logam dimana Islam dan Kebangsaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Pemahaman ini bersifat integralistik, agama dan negara menyatu (integral). Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Paradigma ini yang kemudian melahirkan paham negara agama dimana kehidupan kenegaraan diatur dengan prinsip keagamaan, melahirkan konsep Islam dan Negara. Sumber hukum positifnya adalah agama, masyarakat tidak bisa membedakan aturan negara dan agama karena keduanya menyatu. Dalam paham ini rakyat menaati segala ketentuan negara dan agama, sebaliknya melawan negara berarti melawan agama dan Tuhan.
Peran Islam dan pembentukan Kebangsaan Indonesia merupakan peranan yang saling mempengaruhi. Islam di Indonesia adalah roh pergerakan Kebangsaan yang membangun spirit perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan penjajahan. Islam mampu membentuk identitas perlawanan tersebut dalam masyarakat Indonesia, sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan tidak lepas dari keterlibatan Islam sehingga sangat nyata sekali bahwa Islam merupakan salah satu kekuatan pokok.
Konsepsi mengenai ke-Indonesiaan Natsir dan pendiri negara lainnya merupakan suatu sikap untuk kehidupan bersama dalam kerangka NKRI yang bertujuan menghadirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Perdebatan mengenai dasar Negara bila dipelajari secara seksama bukanlah untuk saling menghegemoni pemahaman satu terhadap pemahaman lainnya tetapi merupakan sikap untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan dan merumuskan kerangka kerja dalam rangka kepentingan rakyat banyak. Hal ini terlihat dari sikap Natsir yang mengajukan “Mosi Integral” pada saat Indonesia terbagi-bagi dalam beberapa negara bagian. Sikap ini sangat mengejutkan kalangan politisi saat itu bahwa Natsir mampu melihat jauh kedepan tentang kepentingan yang lebih besar.
Islam-Pancasila dan Islam-Kebangsaan
Dalam perdebatan tentang Pancasila pada masa Dewan Konstituante, Ia berpendapat bahwa Islam merupakan satu kesatuan konsepsi ketatanegaraan yang tak terpisahkan. Islam merupakan “Rahmatin il alamin” bagi semua elemen kehidupan berbangsa khususnya dan dunia pada umumnya. Islam sebagai agama pembebasan kemanusiaan, ajaran Islam harus diturunkan untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan menjadi spirit menjaga persatuan dan kesatuan. Oleh sebab itu, orang Islam itu tidak boleh bertaklid buta dalam menerima suatu ajaran/pemahaman tanpa mengecek kebenarannya. Pemahaman yang benar terhadap suatu hal yang telah teruji haruslah diterima atau diakui kesahihannya walaupun itu berasal dari musuh atau pihak yang berseberangan. Sehingga, pemahaman akan kemerdekaan bukan pada peristiwa heroik saja tetapi lebih pada perjuangan memanusiakan kemanusiaan dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
Pancasila haruslah dipahami sebagai nilai-nilai dasar tentang kemanusiaan yang bersumber dari ajaran Ketauhidan. Sila pertama Pancasila merupakan bentuk pengakuan ajaran Keilahian Tuhan, sumber utama kehidupan yang harus menjiwai empat sila lainnya. Perbedaan pemikiran Natsir dan Soekarno mengenai Ketuhanan, hanya terletak dalam pemahaman nilai spiritualitas. Natsir lebih berpandangan bahwa Islam haruslah menjadi dasar utama perumusan undang-undang dan peraturan lainnya, sedangkan Soekarno lebih berpijak pada budi nurani sebagai landasan nilai spiritualitas. Kedua pandangan tersebut merupakan “Tuntutan Hati Nurani” manusia yang terdalam dalam pengakuan Ketuhanan yang Maha Esa, perjuangan haruslah bernilai kemanusiaan tanpa adanya upaya mengeksploitasi manusia satu terhadap manusia lainnya serta memahami riwayat/sejarah perkembangan masyarakat dan tata ekonomi dunia.
Berbeda dengan para pendiri republik di Eropa atau Amerika yang tidak memperhatikan agama dalam negara, para pendiri bangsa termasuk Natsir dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa agama merupakan realitas yang hidup. Agama telah menjadi bagian dari sistem sosial dan budaya masyarakat. Hingga pada tingkat tertentu, agama telah berperan sebagai sumber inspirasi dan alat mobilisasi dukungan untuk melawan penjajahan. Karena itu, terdapat posisi dan peran yang sesuai bagi agama dalam negara-bangsa (nation-state) yang mereka bangun. Sejak awal Natsir cenderung meletakkan kata sifat agama di belakang negara. Nasionalisme Indonesia harus bersifat "Kebangsaan Muslimin", Islam sebagai ideologi. Pandangannya itu didorong oleh pemahaman teologisnya, mengutip Montgomery Watt, "Islam is more than a religion, it is a complete civilization". Berbeda dengan Soekarno yang mengutip paham Ataturisme atau Kemalisme mengenai pemisahan hubungan antara agama dan negara. Menurut Natsir, sekularisme mengingkari kenyataan sosiologis masyarakat Indonesia karena agama telah menjadi "a living reality".
Pan Islamisme
Untuk melihat lebih jauh pemikiran Natsir mengenai Kebangsaan dan Islam haruslah memahami situasi dan suasana kebatinan perjuangan Islam pada masa tersebut. Pada abad 19, kondisi bangsa-bangsa yang mayoritas Islam berada dalam situasi penjajahan. Kemunduran peradaban Islam saat itu membangkitkan kembali semangat para ulama dan intelektual muslim untuk mengembalikan kejayaan Islam. Jamaluddin Al-Afghani adalah tokoh ulama intelektual akhir abad 18 yang mengikhtiarkan Pan-Islamisme, perjuangan bersama seluruh umat muslim menentang penjajahan, sangat mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan Islam diseluruh dunia termasuk Natsir.
Pemahaman terhadap Pan-Islamisme terbagi dalam 2 sentrum pemikiran besar, yakni Sentrum Reformis yaitu bergerak dari kultural menuju struktural, dan Sentrum revolusioner yang bergerak dari struktural menuju kultural. Natsir berada dalam Sentrum Pemikiran Reformis, memulai kegiatan politiknya dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Ia melihat bahwa metode pendidikan Barat mampu membentuk intelektual-intelektual yang wahid di bidangnya tapi kehilangan dalam identitas dan nilai-nilai spiritualitas sedangkan pendidikan Islam terjebak dalam kekakuan feodalisme tapi masih memiliki identitas dan spiritualitas. Memandang kondisi tersebut, ia bergerak pertama kali dalam dunia pendidikan sebagai panggilan imannya untuk melaksanakan tugas sebagai anak zaman. Pada tahun 1967 Natsir kembali berkiprah dalam bidang dakwah dan pendidikan, ia pula yang turut mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII).
Kontribusi dan Reputasinya
![]() |
Tulisan Natsir |
Dalam percaturan dunia Islam, khususnya di negara-negara Arab ia dikenal, dihormati dan disegani, beliau ikut serta dan terlibat pada beberapa organisasi Islam tingkat internasional. Ia memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara tahun 1957, menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami) di Karachi, Pakistan tahun 1967, mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam tahun 1967, anggota World Muslim League di Mekah, Saudi Arabia tahun 1969, anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid tahun 1972, menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal tahun 1980, anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait tahun 1985, anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies di London, Inggris pada tahun 1986 dan angota Majelis Umana’ International Islamic Univesity di Islamabad, Pakistan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar