Rabu, 18 Mei 2011

PERJUANGAN DIPLOMASI INTERNASIONAL SUTAN SJAHRIR

Latar Belakang


Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam. Ayahnya penasehat Sultan Deli dan Kepala Jaksa (landraad) di Medan, status ayahnya mendorongnya bersekolah di sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) kemudian sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu. Disana aktif di berbagai kegiatan sosial seperti mendirikan sekolah Tjahja Volksuniversiteit, Cahaya Universitas Rakyat bagi anak-anak dari keluarga tak mampu.
Aktifitasnya kemudian mengarah politik, Sjahrir termasuk sepuluh orang penggagas pendirian Himpunan Pemuda Nasionalis, Jong Indonesi (20 Februari 1927) ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan kedaerahan. Perhimpunan itu menjadi Pemuda Indonesia yang menggerakkan Kongres Pemuda dan mencetuskan Sumpah Pemuda pada tahun 1928 di Jakarta. Saat itu, usianya masih muda (19 tahun) dibanding pemuda lainnya seperti Muh. Yamin (Jong Sumatera), Soegondo Djojopoespito (Jong Java) atau Mr Sunario (utusan Kepanduan). Sjahrir mewakili Jong Indonesie (Pemuda Indonesia) diakui sangat cerdas dan ikut memperjuangkan berdirinya negara Indonesia. Disitu, ia bertemu dengan Amir Sjarifoeddin (Jong Batak) untuk pertama kalinya.
Bersama kawan sekolahnya, ia mendirikan perkumpulan sandiwara Batovis. Setiap bulan melakukan pementasan berbahasa Belanda di gedung Concordia, disaksikan orang Belanda. Di dalam ceritanya sering disisipkan ide kebangsaan dan kritik terhadap pemerintahan kolonial. Sjahrir pada dasarnya tidak membenci orang Belanda namun menentang kolonialisme. Bersama kawan-kawanya mendirikan pula kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang diskusi dan debat politik kalangan pemuda dan pelajar mengenai ide kebangsaan, disini ia mengasah kemampuan berdebatnya.




Ia melanjutkan kuliah ke Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam kemudian pindah ke Leiden School of Indology, tempat sejumlah intelektual Belanda ternama, seperti Snouck Hurgronje, Van Vollenhoven, dan G.A.J. Hazeu mengajar. Disana bergabung dengan Perhimpunan Indonesia dan kelompok diskusi De Socialist dimana Hatta sebagai ketuanya. Ia mendalami sosialisme serta mengupas pemikiran para filsuf sosialis seperti Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto Bauer, Hendrik de Man serta Marx dan Engels. Ia segera akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat dan istrinya Maria Duchateau, kelak ia nikahi meskipun tidak berlangsung lama, pernah pula ia tinggal di rumah Solomon Tas. Ketika uang kirimannya berhenti, ia bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional selain mendapatkan uang saku ia bisa mengenal kehidupan kaum buruh lebih dekat. Pada tahun 1931, Hatta mendorong Syahrir kembali ke Tanah Air untuk melanjutkan perjuangan Indonesia merdeka.

Perjuangan Menuju Kemerdekaan
Keadaan genting terjadi di Indonesia, pemerintah kolonial menangkap Sukarno dan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI). Penangkapan ini menyurutkan semangat pergerakan. Kemudian, Sjahrir kembali ke tanah air disusul oleh Hatta. Kongres di Yogyakarta pada Februari 1932 yang didorong oleh Golongan Merdeka, didirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dengan ketua terpilih Sukemi. Begitu ia tiba di Tanah Air, bergabung dan kongres Bandung (Juni 1932) ditunjuk menjadi ketua dan Sukemi wakilnya. Beberapa bulan sekembalinya Hatta kemudian mengambil alih kepemimpinan dan Syahrir sebagai wakilnya. PNI baru kemudian di pindah ke Jakarta, gerakannya lebih radikal meskipun tanpa aksi massa dan agitasi. Hatta dan Sjahrir mengambil alih PNI Baru agar pergerakan nasional terus berlanjut. Karena gerakannya yang radikal, pemerintah kolonial menangkap mereka dan diasingkan ke Boven Digul, Papua (1934) lalu ke Banda Neira (1936) dan ke Sukabumi (1942).
Saat Jepang masuk dan mengusir Belanda, Sukarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang sedangkan Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah. Ia yakin bahwa Jepang tak mungkin memenangkan perang pasifik sehingga kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul gerakan bawah tanah kelompok Sjahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan selama ia dalam pengasingan. Ia kemudian menyusun kekuatan sambil menunggu momentum perebutan kekuasaan dan kemerdekaan. Sekembalinya Sukarno dari pengasingan di Sumatera Juli 1942, Sukarno menemui Sjahrir dan Hatta di kediaman Hatta. Mereka bertiga sepakat untuk membuat rencana perjuangan yaitu Sukarno dan Hatta akan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang untuk melindungi teman-temannya yang berjuang melawan Jepang. Sedangkan, Sjahrir memilih memimpin gerakan bawah tanah.
Jepang akhirnya terdesak oleh pasukan Sekutu, Sjahrir mengetahuinya melalui stasiun radio bawah tanah. Berita tersebut segera ia sampaikan dan menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang. Sjahrir yang didukung para pemuda mendesak Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyerah. Sukarno dan Hatta yang belum mengetahui berita tersebut, tidak menanggapinya dan menunggu keterangan dari pihak Jepang. Sesuai prosedur, keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang, proklamasi direncanakan 24 September 1945.
Sjahrir yang telah mengerti kekalahan Jepang tersebut segera mempersiapkan proklamasi kemerdekaan. Ia mengumumkan berita tersebut ke seluruh daerah berbasis PNI Pendidikan, diantaranya Cirebon. Melalui dokter Soedarsono, tokoh gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir di Cirebon dibacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang disaksikan sekitar 150 orang. Sjahrir berambisi menyiarkan kemerdekaan Tanah Air secepatnya karena  khawatir proklamasi yang muncul selewat tanggal itu dianggap bagian dari diskusi pertemuan antara Sukarno, Hatta, dan Marsekal Terauchi yang berarti kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah Jepang. Ternyata harapannya tidak tercapai dan proklamasi tersebut tidak pernah diakui.
Kondisi revolusioner saat itu menimbulkan berbagai kecamuk, dua tokoh yang populer di kalangan pejuang yaitu Tan Malaka dan Syahrir bertentangan dalam bentuk perjuangan kemerdekaan. Syahrir menulis Perjuangan Kita”, sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia serta analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Tulisannya tampak berseberangan dengan Sukarno yang menekankan pada persatuan. Dalam tulisannya "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan". Ia mengecam Nasionalisme Sukarno yang di bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: yang tak lain adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.
Para pemuda yang kecewa dengan sikap Sukarno dan Hatta, menganggap sikap tersebut menunjukkan Kemerdekaan Indonesia sebagai hadiah dari Jepang. Pada 16 Agustus, Sukarno dan Hatta diculik para pemuda ke Rengasdengklok dipaksa untuk segera memproklamasikan kemerdekaan indonesia. Akhirnya, Sukarno dan Hatta menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Pada 7 Oktober 1945, 40 anggota Komite Nasional menandatangani petisi kepada Presiden Sukarno, menuntut Komite Nasional dijadikan badan legislatif bukan pembantu Presiden. Dengan suara bulat, rapat memutuskan kekuasaan Presiden dialihkan ke Komite. Sebagai landasan, pemerintah menerbitkan Maklumat Nomor X yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta. Terjadi  penyerahan kekuasaan DPR kepada Komite Nasional, Sjahrir ditunjuk sebagai Ketua Badan Pekerja sementara Amir Sjarifoeddin sebagai wakil. Komite harus bersih dari unsur Jepang untuk menghadapi dunia internasional agar mendapat pengakuan kemerdekaan. Di sisi lain, Belanda merupakan bagian dari Sekutu, sangat ingin kembali menjajah Indonesia. Sekutu pun belum mengakui kemerdekaan Indonesia.

Politik Diplomasi
Sjahrir kemudian diangkat menjadi perdana menteri, sebagai Ketua Badan Pekerja Komite Nasional ia mengeluarkan Maklumat Nomor X yang memungkinkan berdirinya partai politik. Pada pertengahan Desember, ia mengeluarkan kebijakan politik militer. Semua kekuatan bersenjata keluar dari Jakarta dan mengumumkan Jakarta sebagai kota internasional. Kemudian, digelar pameran kesenian yang dipublikasikan wartawan luar negeri untuk menarik perhatian internasional. Ia mengenalkan Indonesia di forum-forum internasional, seperti Konferensi Asia di New Delhi pada 1946. Ia pun mencuri perhatian Internasional dengan memberikan bantuan kemanusiaan berupa sumbangan beras ke India serta membuka blokade ekonomi Belanda dengan mengekspor karet dan kopra ke Amerika Serikat dan Inggris. Ia menandatangani perjanjian dengan Sekutu untuk memulangkan tawanan perang, lebih dari 35 ribu serdadu Jepang dan sekitar 28 ribu tawanan perang, separuh diantaranya serdadu Australia, Amerika dan Inggris yang terjebak ketika Jepang masuk. Negara-negara tadi, langsung mengakui kedaulatan Indonesia paska perjanjian Linggarjati. Kondisi ini buah kesuksesan perjuangan diplomasi Syahrir dalam menghargai hukum internasional
Ketika perundingan Linggarjati, Sjahrir mewakili Indonesia dalam perundingan sedangkan Belanda mengutus Schermerhorn dibantu oleh Van Dern Poll, De Boer, dan Van Mook. Sjahrir, sebagai mantan aktivis gerakan sosialis di Belanda, mengenal Schermerhorn dari Partai Buruh. Meski demikian, perundingan berlangsung alot. Dari 17 pasal yang dibahas, deadlock terjadi mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat, wilayah yang diakui secara de facto yaitu Jawa dan Sumatera. Akhirnya, Pasal ini disetujui dengan sepengetahuan Presiden Sukarno. Sjahrir memasukkan pula pasal tambahan tentang arbitrase, bila ada perselisihan menyangkut perjanjian tersebut, akan diajukan ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal arbitrase ini terbukti menjadi penyelamat ketika terjadi Agresi Militer Belanda. Pada 14 Agustus 1947, Sjahrir memimpin delegasi Indonesia ke sidang Dewan Keamanan PBB di Amerika Serikat. Pada momen ini, Indonesia tampil di kancah internasional. Kepada dunia internasional, Ia memaklumkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat, ia menunjukan bahwa Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati serta menepis anggapan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan pemberian Jepang. Ia meminta bantuan PBB untuk bertindak sebagai penengah dalam konflik Indonesia-Belanda. Dari situlah dukungan dunia internasional mengalir, seperti India, Filipina, Australia, Suriah, Rusia dan Polandia. Kemudian dibentuk komisi tiga negara sebagai mediator konflik Indonesia-Belanda, yaitu: Australia, Belgia dan Amerika.

Pemikiran Sjahrir
Sjahrir lebih dikenal sebagai penganjur ideologi sosial demokrat, terlihat dari gerakannya yang  menekankan pendidikan rakyat. Sikapnya yang menjunjung hak dan kebebasan individu menunjukkan liberalismenya. Perpaduan ideologi sosial demokrat dan liberalisme semacam itu menyebabkannya tak begitu populer pada 1950-an. Adapun, ideologi tersebut membutuhkan kelas menengah yang kuat yaitu golongan masyarakat yang berpendidikan. Gaya pemikiran baratnya yang menggelora, mendesak maju dan dinamis akan melepaskan Timur dari perbudakan. Ia mengkritik bentuk perjuangan politik yang menekankan unsur moral. Secara tajam, ia menganggap nasionalisme ialah proyeksi dari inferioritas kompleks dalam hubungan kolonial, antara bangsa yang dijajah dan yang menjajah.
Sjahrir merupakan bapak politik luar negeri bebas aktif, ia menganjurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia yang antifasis dan antifeodal. Ia pernah menitikkan air mata ketika awal proklamasi melihat pemuda Ambon dan Manado diserang oleh pemuda Indonesia yang menganggap mereka pengikut Belanda. Kekerasan dan fasisme memang tak pernah ia sukai serta mengkritik keras para demagog politik. Perjuangan yang Ia tempuh adalah jalur diplomasi dimana Reputasinya di dunia internasional diakui, terbukti namanya diambil sebagai nama jalan di Belanda yaitu Sjahrirstraat melengkapi jalan lainnya untuk mengenang sejumlah tokoh dunia, seperti Ghandistraat, Martin Luther Kingpad, Salvador Allendeplein, dan Camilo Torresplein.
Tak semua setuju terhadap langkah Sjahrir yang menekankan diplomasi, kelompok penentang paling keras adalah Persatuan Perjuangan yang dimotori Tan Malaka. Ketika ke Banyuwangi untuk meninjau rencana bantuan beras bagi India, Ia diculik oleh para pendukung Tan Malaka. Kejadian itu membuat Sukarno marah kemudian memerintahkan Let.Kol Soeharto menangkap May.Jen Soedarsono tetapi menolaknya dengan alasan tidak mau melawan atasan. Maka Sukarno mengumumkan melalui radio agar Sjahrir dibebaskan setelah disekap tiga hari. Kejadian ini menyebabkan hubungannya merenggang dengan Tan Malaka dan komunis.
Seperti meteor, ia muncul di panggung politik demikian cepat di usia belia lalu hilang sekejap. Kegagalan Partainya (PSI) pada pemilu 30 September 1955 (hanya memperoleh 5 kursi), kalah bersaing dengan PNI (57 kursi), MASYUMI (57 kursi), NU (45 kursi) dan PKI (39 kursi). Hasil pemilu ini membuat Partai Sosialis terasing dari koalisi pemerintahan. Pertanda kekalahan ini sudah dirasakan sejak masa kampanye. PSI menghadapi dilema untuk menceburkan diri dalam politik berbasis massa  sedangkan sejak awal partai membatasi jumlah anggota dengan menekankan basis kader.
Pada Januari 1958, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan sebagai bentuk kekecewaan terhadap Demokrasi Terpimpin Sukarno, Sumitro didaulat menjadi Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Akibatnya pimpinan PSI yaitu Syahrir dipanggil menghadap Presiden Sukarno untuk menjelaskan keterkaitan partainya dengan pemberontakan PRRI/Permesta. Sumitro sebagai salah satu kader PSI ikut terlibat dalam pemberontakan tersebut. Syahrir tidak bisa meyakinkan Sukarno, kemudian PSI dibubarkan pada 17 Agustus 1960. Puncak keretakan Sjahrir-Sukarno berlanjut dua tahun kemudian, ia dan sejumlah tokoh PSI ditangkap saat Presiden di lempar bom di Makassar, ia dituduh terlibat dibelakangnya. Hatta mengirimkan surat untuk mempertanyakan penahanan itu namun Sukarno tidak menggubrisnya. Sejak itu kondisi kesehatannya merosot, Sukarno mengizinkannya berobat ke Swiss. Ia wafat pada 9 April 1966.

1 komentar:

  1. "Das Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinnen" Politik bagi Sjahrir adalah mempertaruhkan hidup dan dengannya memenangkan hidup itu sendiri.Bagi politisi muda hal ini mengingatkan bhwa dlm politik ada keindahan dan bkan hanya kekotoran, ada cita-cita besar yg dprtaruhkn dlm brbgai lngkah kecil. Untuk KTDLGB, jadilah garda terdepan untuk mengingatkan generasi muda akan arti pentingnya sejarah.

    BalasHapus