Rabu, 04 Mei 2011

GENEALOGI DAN PERJUANGAN TAN MALAKA

Pembentukan karakter

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim merupakan salah satu Pejuang Bangsa kelahiran tahun 1896 di Sumatera Barat, wilayah yang banyak menghasilkan pemikir-pemikir brilian yang turut serta dalam sejarah berdirinya bangsa, misalnya Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Sjafruddin Prawiranegara, dll. Ayahnya berasal dari Bonjol dimana leluhurnya terlibat dalam Perang Bonjol melawan Belanda, ibunya berasal dari bukit tinggi. Ia lahir di sebuah surau, masa kecilnya mengilhami bahwa Islam sebagai agama yang mencerahkan dan membebaskan. Berbagai kondisi tersebut membentuk karakter Tan Malaka.
Sebagai anak tertua ia memperoleh gelar datuk, namun ia terpaksa menerimanya karena konsekuensi penolakannya ia harus segera dinikahkan saat usianya yang masih muda. Tan Malaka menempuh sekolah dasar kelas dua terbatas untuk anak-anak rakyat jelata namun berkat kecerdasannya mendorongnya melanjutkan pendidikan ke sekolah guru bumi putera Fort de kock (sebutan untuk sekolah Raja). Tak berhenti disitu, ia pun sampai di negeri Belanda di Sekolah guru Harleem (1913) berkat bantuan gurunya yang juga ayah angkatnya, Horensma. Keberangkatannya  mendapat bantuan dari iuran keluarga dan masyarakat ditempatnya yang melihat potensi besarnya. Tahun 1916 ia pindah ke Busum, tak jauh dari Amsterdam, disini naluri kritisnya muncul. Ia mulai sadar terdapat kesenjangan dalam masyarakat, kaum borjuis yang bergaya mewah dan kaum proletar yang tertindas.
Pemahaman politiknya semakin matang karena lingkungan yang cukup mendukung, setelah kepindahannya ke Busum meletus Revolusi Bolshevik di Rusia (Oktober 1917) yang menginspirasinya bahwa dunia sedang beralih menuju sosialisme. Ia juga aktif di Indisce Vereeniging (Perhimpunan Indonesia), organisasi yang bercorak Marxis. Kebiasaannya membaca surat kabar De Telegraaf dan Het Volk koran penyeru anti kapitalisme dan anti imperialisme, sering pula ia membaca buku karya para filsuf dan pemikir populer pada zaman itu terutama The French Revolution karya Thomas Carlyle, melalui buku ini ia mengenal semboyan liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan). Di tengah gejolak politik dunia saat Perang Dunia I, menebarkannya semangat revolusioner dan ideologi.




Tan Malaka turut terlibat dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer sebagai delegasi dari Indische Vereeniging (IV) yang ditawari Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Keterlibatannya sebagai pelajar yang datang dari bangsa yang dijajah menemukan pencerahan bahwa sudah saatnya diadakan revolusi di negeri asalnya yaitu lepas dari belenggu penjajahan dimana Sosialisme adalah pilihan agar tujuan tersebut tercapai. Tahun 1919 ia kembali ke tanah air setelah 6 tahun di Belanda, terlepas kebuntuan kiprah politiknya namun membentuk karakter dan idealismenya. Ia pulang dengan satu tujuan mengubah nasib bangsa”.

Perjuangan Awal
Tan Malaka berjuang melalui pendidikan non-formal, berbeda dengan Mohamad Natsir menggunakan pendidikan formal.  Awalnya ia menjadi seorang guru di perkebunan Deli dengan menekankan metode pendidikan yang membuka cakrawala berpikir yang rasional untuk melihat realitas sosial. Pendidikan dalam politik etis saat itu merupakan perpanjangan tangan pemerintah kolonial untuk membentuk tenaga administrasi kepentingan penguasa bukan pendidikan yang membebaskan keterbelengguan masyarakat dari kebodohan. Akibatnya, masyarakat kelas bawah menjadi korban pembodohan dari kaum terpelajar, misalnya kesewenang-wenangan tuan tanah dan aparat kolonial yang terpelajar melalui jeratan aturan kontrak yang merugikan kuli-kuli perkebunan yang buta huruf.
Kenyataan yang dilihat membuatnya berkesimpulan harus ada pola terpadu bagi pendidikan kaum tertindas untuk mempercepat proses pematangan revolusi mencapai kemerdekaan, membawa dan menyiapkan masyarakat ke alam demokrasi mengisi kemerdekaan. Membimbing rakyat melalui pendidikan kerakyatan maka rakyat tidak akan lagi dibodohi dan memiliki kekuatan menghadapi kekuasaan pemilik modal sehingga kemerdekaan rakyat bisa diperoleh. Bentuk pemikirannya yaitu: (1) Cara berpikir ilmiah berdasarkan bukti, (2) Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, Konsekuen serta Konsisten. Ia menulis sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar. Pemikirannya mengajak dan memperkenalkan rakyat cara berpikir ilmiah bukan hafalan, text book dan dogmatis maupun doktrinase. Namun, mampu berdialektika dan berlogika secara benar.
Ia secara intensif dan sukarela memberikan bantuan kepada kaum buruh perkebunan serta menyediakan diri sebagai tempat kaum buruh berkeluh-kesah, yang kemudian menyiarkan penderitaan kaum buruh tersebut dengan mengirimkan artikel-artikel ke berbagai media suratkabar. Kegiatan advokasi tersebut tak urung membuat kaum tuan tanah dan aparat kolonial kebakaran jenggot. Aktivitas ini mulai membawanya dikenal dalam kalangan pergerakan.

Bergabungnya Kekuatan Nasional
Berkembangnya pergerakan kebangsaan tahun 1920an mendorongnya berangkat ke Jawa Tahun 1921, meninggalkan pekerjaannya yang bergaji lumayan tinggi. Perkenalannya dengan R. Soetopo seorang guru Sekolah Pertanian di Purworejo mengenalkannya dengan Sarekat Islam (SI) serta membawanya ke kongres SI di Yogyakarta tahun 1921. Melalui SI, ia bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan terkemuka, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agoes Salim, Abdoel Moeis, Semaoen, Darsono, dll. Saat perkenalan itu Semaoen sebagai Ketua SI cabang Semarang, terkesan dengan Tan Malaka sebagai tokoh muda terpelajar yang mampu memahami islam dan marxisme dengan baik. Kehadirannya diharapkan dapat menjembati perbedaan pemahaman antara komunis dan Islam sehingga energi terbesar dalam perjuangan kemerdekaan dapat dimaksimalkan.
Seusai kongres, Semaoen mengajak Tan Malaka ke Semarang. Kedua aktivis Merah itu sepakat untuk mendirikan sekolah kerakyatan yang bertujuan untuk mendidik calon-calon pemimpin bangsa yang progresif-revolusioner dari kaum rakyat proletar. Berdirilah sekolah pertama dengan murid sebanyak 50 pada tanggal 21 Juni 1921 kemudian pada Maret 1922 sekolah sejenis telah tersebar sampai ke Bandung dengan 200 murid. Pendirian sekolah-sekolah ini sangat berhasil sehingga melambungkan nama Tan Malaka.
Ketika itu terjadi pergolakan besar di tubuh SI mengenai aturan disiplin partai yang dicetuskan Agoes Salim dan para pendukung HOS Tjokroaminoto yang secara tegas menekankan larangan keanggotaan rangkap dengan oganisasi lainnya. Usulan itu tidak disetujui oleh beberapa anggota SI lainnya, terutama SI cabang Semarang yang dimotori Semaoen, Darsono dan Tan Malaka dimana hampir semua anggotanya merangkap sebagai anggota ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging), organisasi radikal berhaluan Marxisme yang didirikan Sneevliet pada Mei 1915. Tan Malaka meminta pengecualian, sebab komunis merupakan sekutu Islam di mana saja dalam melawan imperialisme.  Semaoen menambahkan, jika SI meninggalkan sayap kirinya maka SI akan kembali ke tahap awal, yaitu sebagai organisasi dagang Islam belaka. Semaoen mengkritik peran agama (Islam) sebagai alat untuk bergerak tidak mencukupi sebagai dasar pergerakan karena bisa saja memihak kepada ideologi kapitalis atau sosialis, selain itu tidak semua orang Hindia beragama Islam.  Sedangkan, Agus Salim menjawab bahwa dalam Al Qur’an segala doktrin Marxisme sudah tercakup termasuk Dialektika Materialisme, dan SI tidak bisa dijadikan sebagai ajang pertarungan partai lain. Ia tidak khawatir bila banyak anggota SI keluar akibat penerapan disiplin partai agar menjadi partai yang kuat.
Walaupun begitu Tan Malaka tidak melihat adanya perbedaan mendasar  mengenai Islam dan Komunis dalam mencapai Indonesia merdeka. Semangat Islam adalah sosialisme itu sendiri dimana Tan Malaka sangat memahami bahwa Islam sebagai agama pembebasaan dan perlawanan terhadap penindasan. Islam merupakan ajaran yang sangat rasional dalam memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban seluruh umat manusia namun dalam implementasi pemahamannya sering disalahgunakan oleh kaum-kaum terpelajar/cerdik pandai atau kelompok tertentu untuk mendukung kapitalisme dan imperalisme itu sendiri.
Akhirnya SI terpecah, kelompok SI Semarang mendeklarasikan Partai Komunis Hindia yang sebelumnya dikenal SI Merah sementara SI pro Tjokroaminoto dikenal SI Putih. Tan Malaka yang sejak awal tidak menghendaki perpecahan SI dan PKI, mengupayakan bersatu untuk menghadapi tekanan penjajah. Pidatonya menyerukan untuk kembali bersatu pada kongres PKI bulan desember 1921 di Semarang dengan membandingkan kesuksesan Kongres Nasional di India dan kegagalan organisasi pergerakan di Indonesia. Kongres Nasional di India mampu melancarkan gerakan non-cooperation yang tidak bisa dihadang oleh Inggris, sedangkan pergerakan Indonesia terpecah belah dalam menghadapi Belanda yang kekuatannya lebih lemah dibanding Inggris. Pidato tersebut didukung oleh semua peserta kongres meskipun sempat terjadi perdebatan. KH. Bagus Hadikusumo, utusan Muhammadiyah ikut angkat bicara mendukung Tan Malaka. Menurutnya rakyat Indonesia beragama Islam dan pergerakan bertujuan melawan penindasan bangsa asing yang kafir. Gerakan perlawanan hanya dapat dijalankan jika rakyat bersatu. Ia menyeru bahwa siapa saja yang merusak persatuan berarti memihak musuh dan menentang Islam. Seruan tersebut efektif mencegah perpecahan yang lebih parah.
Menurut Tan Malaka, komunisme secara alami menjalin aliansi dengan islam melawan imperialisme, misalkan Revolusi Bolshevik yang menjalin muslim kaukasus, Persia, Afghanistan, dan Bukhara. Selain itu, perbedaan kedua partai merupakan taktik licik imperialis dalam memecah-belah kekuatan, bila perbedaan antara Islam dan Komunisme semakin dilebih-lebihkan maka memberi keuntungan kepada musuh bersama, yaitu pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akhirnya SI sepakat bekerja sama kendati hanya dalam program-program khusus. Kongres memilih Tan Malaka sebagai ketua menggantikan Semaoen, keputusan lainnya yaitu mengintervensi pemilihan Volksraad. Tan Malaka termasuk berani dalam menyatukan dua kekuatan besar rakyat Indonesia sehingga membuat pemerintah kolonial cemas.
Pada tanggal 2 Maret 1922, pemerintah kolonial menangkap Tan Malaka di Bandung setelah terjadi pemogokan besar-besaran buruh pelabuhan dan pabrik minyak. Tan Malaka ditahan dan diasingkan ke negeri Belanda, sebagai hukuman atas langkah-langkah politiknya. Kondisi inilah yang mendorong petualangannya lebih jauh lagi, ia menghabiskan waktunya dari satu negara ke negara lainnya selama duapuluh tahun hingga memutuskan kembali ke Indonesia tahun 1942 bersamaan dengan pendudukan Jepang.

Petualangan Internasional
Prestasi Tan Malaka di dunia internasional termasuk fenomenal, ia masuk dalam Commintern yaitu organisasi yang bertujuan mengintegrasikan perjuangan kaum komunis di seluruh dunia. Antara tahun 1922 hingga tahun 1927, ia ditunjuk menjadi wakil khusus Pemerintah Sovyet yang bertugas menjelaskan strategi Komintern ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tan Malaka dikirim pula oleh Central Comitte Uni Sovyet ke daerah yang beragama Islam sejalan dengan pengetahuannya yang mendalam tentang Islam, ia dianggap dapat menjadi jembatan penghubung antara komunisme dan Islam.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa selama periode pergerakan nasional, peran Tan Malaka dalam waktu yang amat singkat di tanah airnya ternyata sangat besar. Ketika berbagai organisasi masih berkutat pada persoalan-persoalan domestik, Tan Malaka telah menyerukan bahwa tanpa persatuan mustahil perjuangan melawan penjajah akan berhasil.

2 komentar:

  1. Mantabh Bung, semoga Cempaka Putih 45 bisa menjadi seperti Menteng 31. Dimana anak-anak muda di gembleng dalam basis perjuangan dan moral adiluhung..

    Tetap Semangat, MERDEKA!!

    BalasHapus
  2. "Mereka yg brada disimpang kiri dlm prjlanan sjarah Indonesia,Peranannya hnya dsbut spintas lalu dlm pstka sjarah bangsa,hny fguran, namanya wjib dlupakn dn trlalu brbhaya untk diingat, TAN MALAKA satu diantaranya. Dan FFH,mengajarkan untuk mncapai KEARIFAN sejarah dgn cara "mempelajari"nya secara sungguh-sungguh. Harus lebih baik dari "MENTENG 31" dan makin banyak yg gabung di cempaka putih 45.

    BalasHapus