Jumat, 06 Mei 2011

MASA DEPAN ISLAM DAN NASIONALISME

Ideologi Nasionalisme dan Islam masih akan terus mewarnai kehidupan berbangsa. Mengapa ada klasifikasi semacam itu? Apakah golongan Islam bukan juga nasionalis, atau kurang memiliki rasa kebangsaan dibandingkan kalangan yang mengklaim sebagai nasionalis, sementara pertanyaan sama bagi kaum nasionalis itu yang sebagian besarnya muslim. Sudah saatnya bagi seluruh elemen kebangsaan untuk menggali kembali makna Nasionalisme yang kian hari kian dipertanyakan artinya. Hal ini bukan semata akibat krisis yang belum juga reda melanda negeri kita melainkan jauh lebih dari itu, yaitu derasnya gelombang globalisasi yang menyatukan setiap belahan negara di dunia, implikasinya adalah setiap orang di berbagai negara akan terhubung. Bila “semua orang” kini telah menjadi “warga dunia”, lalu bagaimanakah bentuk nasionalisme kita di masa depan.? Sementara belakangan sosok Islam lebih dianggap sebagai pengusung Internasionalisme ketimbang Nasionalisme. Tulisan berikut ini, disajikan kembali dari artikel yang diterbitkan oleh Majalah “Panji Masyarakat” bulan Agustus 2003 edisi ke 15.


Meskipun bentuk Nasionalisme Indonesia telah mengalami transformasi dan tidak lagi sekadar diinterpretasikan sebagai implementasi dari faham ke-Islaman namun pengaruh gagasan-gagasan Islam tetap saja tampak. Dalam masa transisi menuju suatu masyarakat yang demokratis, kiranya perlu dilakukan refleksi kritis terhadap dua wacana utama yang telah menjadi panduan bangsa Indonesia dalam mengarungi 58 tahun usia kemerdekaannya. Dua wacana utama tersebut adalah Islam dan Nasionalisme. Munculnya wacana ini merupakan bagian dari rangkaian pencerahan bangsa yang tercapai melalui proses pendidikan dan pendewasaan politik dari pengalaman Kolonialisme di awal abad ke 20. Wacana Islam dan Nasionalisme memiliki andil yang sama besarnya dalam membentuk kesadaran kita untuk hidup sebagai satu bangsa. Kedua wacana ini bukan hanya berjalan seiring namun juga berinteraksi dan berdialog dalam rangka membangun kultur demokrasi di Indonesia.


Sebagai wacana, Kebangsaan (Nasionalisme) merupakan konsep gagasan tentang cara hidup bersama dalam satu entitas yang disebut bangsa (Nation). Kesadaran Kebangsaan pertama kali terartikulasi secara jelas dalam Revolusi Perancis dengan mengemukakan semboyan liberte, egalite dan fraternete. Dari ketiga slogan tersebut terembus kuat semangat kebersamaan dan kesetaraan yang juga merupakan salah satu landasan utama dari demokrasi. Meruapnya kesadaran kebangsaan di Benua Asia dan Afrika adalah bagian dari reaksi terhadap penetrasi kolonialisme negara-negara Eropa yang makin dalam. Karena itu, di Indonesia Kebangsaan pertama-tama menampilkan diri sebagai suatu gerakan kemerdekaan menentang dominasi kolonial dan baru muncul kemudian sebagai sebuah gerakan demokrasi.




Sementara itu, Islam merupakan suatu kesadaran keagamaan yang menuntut umatnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kesetaraan. Kesadaran ini bukan hanya untuk diyakini namun juga diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan itu maka tidaklah mengherankan jika sejak awal abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 banyak sekali gerakan sosial yang berdasarkan Islam ditujukan untuk mengingkari hegemoni negara kolonial. Meski gerakan-gerakan ini sebagian besar tidak terorganisasi dengan baik, makna pentingnya sebagai suatu bentuk perlawanan sosial tidak bisa diabaikan begitu saja. Gerakan-gerakan yang dilandasi oleh kesadaran keislaman tersebut menjadi motor penggerak bagi masyarakat untuk melawan hegemoni dan berbagai bentuk eksploitasi negara kolonial.


Perkembangan kesadaran ke-Islaman sebagai suatu struktur makna yang khas mampu menggalang munculnya solidaritas di antara rakyat pribumi di negeri jajahan dan berinteraksi dengan pemikiran yang berkembang di masanya, pada akhirnya menjadi pemicu munculnya kesadaran kebangsaan atau Nasionalisme di Indonesia. Jika kita merunut kembali lahirnya Nasionalisme Indonesia modern, terutama diartikulasikan menurut bentuk-bentuk solidaritas yang salah satunya dilandasi oleh kesamaan agama yaitu Islam. Dengan demikian, Nasionalisme sebagai suatu bentuk “masyarakat yang dibayangkan” (imagined community), mengutip Ben Anderson, adalah perluasan yang tidak terpisahkan dari gagasan solidaritas Islam.


Dalam wacana politik Islam, konsep mengenai Nasionalisme tidak bisa dipisahkan dari gagasan tentang “umat”. Dengan demikian, bukan hanya satu kebetulan jika Sarekat Islam (SI) yang didirikan pada 1912 menjadi organisasi sosial pertama yang berhasil menanamkan benih Nasionalisme Indonesia di kalangan masyarakat bawah dan menengah di negara kolonial Hindia Belanda. Meski kemudian Nasionalisme Indonesia mengalami transformasi dan tidak lagi sekadar diiterpretasikan sebagai satu implementasi dari faham ke-Islaman, pengaruh gagasan-gagasan Islam tetap saja tampak seperti solidaritas, asas sama rasa sama rata, dan menentang segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan.


Dalam periode pascakemerdekaan hingga jatuhnya pemerintah Soekarno di Indonesia terjadi penggunaan simbol agama dalam kegiatan politik di tengah upaya-upaya untuk membangun struktur masyarakat baru yang ingin dibangun di atas puing-puing negara kolonial. Konflik-konflik politik dan ideologi sering diartikulasikan melalui wacana-wacana ke-Islaman yang konsekuensi-konsekuensi negatifnya adalah fanatisme dan antagonisme di antara masyarakat pemeluk agama Islam dan masyarakat Indonesia keseluruhan. Sementara itu, negara dalam keadaan lemah dan tidak mampu memainkan peranan sebagai mediator bagi konflik-konflik sosial dan politik yang tidak berkesudahan. Penggunaan simbol Islam secara berlebihan turut menyumbang terjadinya situasi krisis secara terus-menerus yang mencapai puncaknya ditandai dengan runtuhnya pemerintahan demokrasi terpimpin pada 1965.


Setelah Orde Baru didirikan dan kehidupan politik direstrukturisasi, terjadi pembatasan dan bahkan penindasan terhadap masyarakat yang menggunakan Islam sebagai simbol politik, kecuali ciptaan penguasa. Dengan kontrolnya yang ketat terhadap kehidupan sosial-politik masyarakat, negara Orde Baru secara konsisten berusaha menjegal setiap upaya dari siapa pun untuk menggunakan Islam sebagai basis ideologi, atau menciptakan satu struktur kekuatan politik yang didasarkan pada sentimen negara. Akan tetapi, ketika rezim Soeharto memerlukannya, simbol Islam dipakainya sebagai upaya mencari dukungan ataupun legitimasi.


Meski begitu, tidak berarti bahwa pengaruh Islam secara sosial dan politik menjadi sirna sama sekali. Kenyataan bahwa Islam dan periode Orde Baru kemudian tidak menegaskan dirinya kembali sebagai suatu ideologi politik yang formal, tidak  berarti bahwa ia tidak lagi berfungsi sebagai medium untuk melakukan konstruksi sosial di dalam kehidupan masyarakat. Banyak bukti dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa jauh dari menjadi tidak relevan. Islam terus menunjukkan daya tahannya bukan  saja untuk tetap hidup, tetapi juga untuk berdaptasi dengan kondisi-kondisi struktural yang baru. Demikian juga dalam masa setelah reformasi digulirkan. Berbagai isu yang menyuarakan politisasi agama ataupun sekterianisme justru ditolak oleh organisasi sosial kemasyarakatan Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah. Dengan itu maka dialog antara wacana tersebut dalam masa pascareformasi ini makin mendorong munculnnya semangat yang menghargai adanya pluralisme dan perbedaan.


Menghargai masa transisi saat ini, wacana Islam dan kebangsaan ditantang untuk turut menangani berbagai permasalahan nasional yang makin kompleks dan menemukan kembali relevansinya dalam format sosial yang baru.


Dari refleksi singkat di atas, terlihat bahwa dialog antara wacana Islam dan kebangsaan telah mampu menjawab berbagai permasalahan yang muncul dalam perjalanan bangsa ini. Meski begitu, ancaman terhadap eksistensi bangsa Indonesia melalui gerakan separatisme dan pembusukan terhadap proses demokratisasi tidak dapat diabaikan begitu saja. Maka dalam perjalanan sejarah Indonesia saat ini, sekali lagi wacana Islam dan Kebangsaan diharapkan mampu berdialog secara intens dalam rangka membangun kultur masyarakat Indonesia yang demokratis.


(Maaf, nama penulis tidak kami cantumkam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar